Kamis, 01 April 2010

budaya jawa

Kebudayaan bahasa jawa

Konsepsi secara tradisional mendasarkan pada anggapan bahwa kelahiran ha-na-ca-ra-ka berkaitan erat dengan legenda Aji Saka. Legenda itu tersebar dari mulut ke mulut yang kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk cerita. Cerita itu ada yang masih berbentuk manuskrip dan ada yang sudah dicetak. Cerita yang masih berbentuk manuskrip, misalnya Serat Momana, Serat Aji Saka, Babad Aji Saka dan Tahun Saka lan Aksara Jawa. Cerita yang sudah dicetak misalnya Kutipan Serat Aji Saka dalam Punika Pepetikan saking Serat Djawi ingkang Tanpa Sekar, Lajang Hanatjaraka.

Dalam manuskrip Serat Aji Saka dan kutipan Serat Aji Saka misalnya diceritakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di Pulau Majeti oleh Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Aji Saka tiba di Medangkamulan, lalu bertahta di negeri itu. Kemudian negari itu termasyhur sampai dimana-mana. Kabar kemasyhuran Medangkamulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengatahuan Sembada ia pergi ke Medangkamulan. Di hadapan Aji Saka, Dora melaporkan bahwa Sembada tidak mau ikut, Dora lalu dititahkan untuk menjemput Sembada. Jika Sembada tidak mau, keris dan perhiasan yang ditinggalkan agar dibawa ke Medangkamulan. Namun Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan mempertahankan barang-barang yang diamanatkan Aji Saka.

Akibatnya, terjadilah perkelahian antara keduanya, oleh karena seimbang kesaktiannya meraka mati bersama. Ketika mendapatkan kematian Sembada dan Dora dari Duga dan Prayoga yang diutus ke Majeti, Aji Saka menyadari atas kekhilafannya. Sehubungan dengan itu, ia menciptakan sastra dua puluh yang dalam Manikmaya, Serat Aji Saka dan Serat Momana disebut sastra sarimbangan. Sastra Sarimbangan itu terdiri atas empat warga yang masing-masing mencakupi lima sastra, yakni :

1. Ha-na-ca-ra-ka

2. Da-ta-sa-wa-la

3. Pa-dha-ja-ya-nya

4. Ma-ga-ba-tha-nga

Bahasa jawa terdiri dari bahsa jawa halus dan bahasa jawa kasar, bahasa jawa kasar digunakan sebagai bahasa percakapan sehari-hari bagi orang yang merasa sederajat atau bagi orang yang lebih tinggi derajatnya apabila sedang bercakap dengan orang yang derajatnya berada di bawahnya. Sedangkan bahasa jawa halus digunakan oleh orang yang lebih rendah derajatnya apabila sedang bercakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya. Penggunaan bahasa jawa halus tersebut digunakan untuk menjaga unggah ungguh dan kesopanan sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tinggi derajatnya atau dengan orang yang lebih tua. Dengan penggunaan bahasa halus tersebut atau yang biasa disebut dengan bahasa jawa kromo, akan membentuk karakter yang akan benar- benar menghormati kepada orang yang diajak bercakap.

Sudah terbukti bahwa bahasa membuat orang yang menggunakan bahasa jawa halus tersebut mempunyai sikap yang sopan santun dan menghindari sikap kurang ajar. Sebagai contoh untuk saat-saat ini bahasa jawa halus digunakan oleh anak yang berbicara dengan orang tua, berbicara dengan orang yang umurnya lebih tua, orang yang mempunyai jabatan atau derajat lebih tinggi dan kepada orang yang baru dikenal. Hal itu membuat terhindarnya anak yang kurang ajar kepada orang tuanya, terhindarnya seseorang yang kurang ajar terhadap orang umurnya lebih tua, terhindarnya bawahan yang kurang ajar terhadap atasannya dan menciptakan kesan yang baik dari orang yang baru dikenal. Hal ini adalah wujud positif dari budaya bahasa jawa yang patut untuk dilestarikan.

Perkembangan jaman membuat budaya bahasa jawa mulai terkikis sedikit demi sedikit. Bahkan di daerah jawa sendiri, anak-anak jaman sekarang cenderung menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun belum banyak tetapi hal itu sudah mulai terlihat dari anak-anak yang memanggil ayah dan ibu nya dengan sebutan papa dan mama. Selain itu munculnya bahasa gaul seperti kata-kata loe, gue, bro dan sebagainya yang sudah menjamur di kalangan anak muda jaman sekarang. Hal itu tidak hanya membuat semakin lunturnya budaya bahasa jawa, akan tetapi sikap sopan santun atau sikap unggah ungguh yang merupakan ciri khas orang jawa juga semakin luntur.

Dengan perkembangan jaman saat ini, dapat mulai terlihat bahwa budaya modern akan menggeser budaya asli yang merupakan warisan yang merupakan ciri khas dan identitas dari suatu daerah. Penggunaan bahasa jawa halus untuk saat sekarang ini sudah jarang ditemui, bahkan anak kepada orang tua mereka cenderung menggunakan bahasa jawa kasar yang akan membentuk sikap yang kurang sopan dan santun kepada orang tua. Bukan hanya anak kepada orang tua, akan tetapi bawahan kepada atasan, seseorang terhadap orang yang lebih tua bahkan terhadap orang yang baru di kenal menjadi terkesan sok kenal dan kurangnya penghormatan kepada orang lain.

Kurangnya minat orang jaman sekarang terhadap budaya-nya sendiri terutama orang jawa terhadap bahasa jawa halus yang dipunyai-nya akan membuat matinya kebudayaan yang merupakan hal positif dan identitas yang harus dipertahankan. Hal ini merupakan tantangan untuk bagaimana pemerintah mulai mencanangkan pengguaan bahasa jawa kepada masyarakat-nya khususnya di jawa sehingga budaya jawa tersebut dapat dipertahankan tanpa terkontaminasi oleh budaya dari luar. Selain itu peran orang tua juga penting untuk membiasakan anak-anak mereka mulai dari mereka kecil hingga dewasa sehingga terbentuk karakter yang sopan santun dan menghargai orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar